“Point Blank” Keswan Dalam Perencanaan Anggaran
*Oleh-oleh Dari Toraja Utara
Apa yang saya tulis ini, tak hanya sebuah seremonial belaka dari sebuah Lokakarya dan Lokalatih Perencanaan Pengganggaran Keswan di Toraja Utara 6-7 Maret 2012 lalu. Sebab bagi saya apa yang menjadi subtansi pertemuan adalah jauh lebih besar dan penting untuk disampaikan daripada hanya mengulas soal 5W + 1 H dari sebuah pertemuan. Berikut ini adalah sepotong oleh-oleh saya dari Kota Palopo.....
“Tujuh puluh persen penyakit baru, yang
diidentifikasi para ahli kesehatan dunia berasal dari hewan”. Sontak pernyataan
yang disampaikan kabid keswan dinas peternakan dan kesehatan hewan provinsi
sulsel ini menghentak. Bagi penggiat keswan kondisi ini
adalah hal baru. Bagi stake holder lain yang hadir dalam lokakarya & pelatihan perencanaan dan penganggaran kesehatan hewan, di Torut 5-9
maret 2012, kondisi ini menggiriskan. Tapi demikianlah faktanya.
Suka atau tidak suka, itulah kondisi
yang kini harus dihadapi masyarakat dunia. Ironis, fakta ini belum sepadan
dengan dana dan biaya penanganan keswan bidang kesehatan hewan dan masyarakat
veteriner. Di Indonesia, itu hampir terjadi di seluruh kabupaten. Dari sekian
banyak item kegiatan penanganan keswan, belum semuanya mampu dilaksanakan.
Penyebabnya ada dua. Minimnya dana dan minim pula sumber daya manusia. Ironisnya keduanya punya keterkaitan erat. Dari sisi
teknis teknis
kuantitas dan kualitas SDM keswan Sul-Sel
rasanya, cukup memadai dibandingkan
daerah lain.
Namun soal pendanaan.....?hmmmm...Mengukurnya perlu kajian mendalam.
Persoalannya urusan ini, di beberapa titik sistem perencanaan anggaran
pemerintah kadang akan terlalu “seksi”
bahkan “vulgar” untuk dibahas mendalam. Demikian pula pada tingkat kabupaten.
Tetapi, dalam kenyataannya harus diakui
sumber daya manusia pada stake holder perencana anggaran yang memahami keswan
secara teknis dan urgensi kegiatannya masih sangat minim. Apalagi yang sampai mampu
menerjemahkan kebutuhan dan kegiatan keswan, ke dalam bahasa “perencanaan
anggaran” pemerintah yang sangat ketat diatur dalam sejumlah aturan yang juga
“pamali” untuk dilanggar.
Karena sebagai sebuah mekanisme dalam
birokrasi pemerintahan, perencanaan anggaran ataupun program kegiatan, diikat
oleh sejumlah aturan perencanaan pembangunan nasional. Konkritnya jika kegiatan
keswan tak ada dalam nomenklatur program atau kegiatan, padahal selayaknya
dilaksanakan, perencana anggaran harus “putar otak”.
Tak jarang para perencana anggaran secara teknis harus “akal-akalan” untuk tetap
mampu mencover pembiayaan kegiatan keswan yang mungkin belum dicover oleh
nomenklatur program/kegiatan.
Kerap kali pula
ajuan
penganggaran keswan dicoret. Alasannya, kerangka kerja logis ataupun rencana
aksi ajuan anggaran keswan tak mampu disusun dalam “bahasa program” oleh sumber
daya manusia di dinas yang menjadi leading sektor penanganan keswan itu
sendiri. Perencanaan anggaran keswan kerap dituding “amburadul”. Memang harus
diakui sebagai sebuah birokrasi yang terukur, perencanaan pengajuan anggaran
dalam pemerintah menuntut sebuah perencanaan yang sistematis, measurable, attainable,
realisitik/relevant dan timely alias
S.M.A.R.T. Yah, kondisi ini memberikan sumbangsih yang cukup siginikan
mewujudkan sebuah “point blank”, dalam perencanaan anggaran keswan.
Kondisi ini diperparah lagi dengan pemahaman
para stakeholder penentu kebijakan soal “yes or no-nya” anggaran keswan
disetujui. Ini menjadi point blank selanjutnya. Sebab terkadang meski secara
teknis sejumlah kegiatan keswan itu penting dan seharusnya dilaksanakan setiap
tahun, namun akibat kurangnya pemahaman tentang urgensi kegiatan keswan dan
keterkaitannya antara satu kegiatan dengan kegiatan lain, perencanaan anggaran
keswan pun dicoret.
Yang ikut “mendorong” kondisi ini pada
tingkat kabupaten dan dinas yang menjadi leading sektornya adalah para penentu
kebijakan hanyalah mereka yang baru menginjak esalon IV. Kondisi ini tentu
membatasi “bargaining position” mereka dalam mengakses anggaran untuk
menjalankan tindakan penanganan keswan.
Akan lebih celaka lagi jika orientasi
pemberian anggaran bagi keswan oleh stake holder penentu kebijakan anggaran di
daerah, cenderung menganut paham “dagang”.
Karena dengan pola ini mereka akan menuntut jika sekian rupiah keluar
untuk membiayai keswan, berapa pula nilai rupiah yang akan masuk sebagai PAD dari
pelaksanaan kegiatan keswan tersebut. Jika sudah demikian, jangan berkhayal peningkatan
dana apalagi penambahan kegiatan keswan di daerah. Kecuali jika kondisi darurat
muncul..!!!.Mau.....?????
Point selanjutnya adalah masih terlalu
minimnya kegiatan keswan yang dicover dokumen perencanaan pembangunan yang ada
di tingkat kabupaten. Baik pada Rencana Strategis Pemerintah Daerah (RENSTRA)
lima tahunan dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Salah satu
aspek penyebabnya adalah nyaris tak pernah adanya usulan masyarakat melalui
musrenbang kelurahan atau kecamatan soal permintaan kegiatan keswan di suatu
wilayah. Padahal dalam sistem perencanaan pembangunan nasional saat ini yang
bottom up, ini melupakan sebuah peluang. Jika itu terjadi di semua kelurahan
secara komprehensif, bargaining position anggaran keswan dalam penentuan
prioritas anggaran tentu akan lebih signifikan.
“Yang lebih ramai muncul saat musrenbang
kelurahan atau kecamatan biasanya jalan tani, irigasi, atau minta sapi dan
ayam” sebut salah satu peserta loka yang dihadiri Bappeda, TAPD serta dinas
terkait dari Tana Toraja, Toraja Utara,
Kota Palopo, Luwu Utara dan Timur serta Kabupaten Luwu. Kondisi ini
mungkin lebih diakibatkan konsep pemahaman masyarakat tentang urgensi kegiatan
keswan sebagai sebuah tindakan yang baru mereka butuhkan saat mewabahnya suatu
penyakit ternak. Dan secara teknis kesehatan, pemahaman inilah yang harus
diadvokasi. “Lebih baik mencegah daripada mengobati kan...?”.
Artinya pemahaman soal kegiatan
penanganan keswan “bermasalah” sejak hulu sampai hilir “. Mulai dari pemahaman
masyarakat dalam musrenbang, sumberdaya manusia perencana dinas yang menjadi
leading sektor minim, hingga penentu kebijakan anggaran di daerah. Benang merah
dan mungkin bisa menjadi sebuah solusi kondisi ini adalah advokasi pada semua
stake holder mulai dari masyarakat sampai birokrat penentu kebijakan dan
anggaran. Dan yang lebih prioritas adalah adanya pelatihan berkala para
perencana di dinas terkait tentang kebutuhan keswan.
Dengan demikian, untuk jangka pendek, idealnya
perencana anggaran keswan diisi oleh sumberdaya manusia perencanaan yang
mumpuni. Baik pemahaman secara teknis maupun pemahaman dan kemampuan
menerjemahkan kebutuhan keswan dalam
sebuah “bahasa program perencanaan”. Kedua kemampuan ini harus hadir dalam
personal perencana penganggaran keswan sehingga mampu “berbicara lebih banyak”
dalam mengakses anggaran. Keberadaan SDM seperti ini diharapkan mampu
menghilangkan “bisik-bisik” diantara para penggiat keswan lapangan soal “kerja
rodi” alias “gotong royong’. Karena mereka bekerja tapi tanpa diudukung dana
yang mumpuni. Semoga....!!!Amin. (myscr-1)
Komentar
Posting Komentar