Anggaran PHM, Antara Investasi Ataukah Emergency?

Jika pada tulisan sebelumnya saya lebih mengupas titik lemah mengakses anggaran bagi kegiatan Penanggulangan Penyakit Hewan Menular (PHM) dari sudut Sumber Daya Manusia Perencana Anggaran, tulisan kali ini akan lebih banyak mengupas tentang mind set berpikir yang menentukan proporsi anggaran PHM dan Keswan. Dengan mengetahui mind set itu, saya berharap para perencana anggaran keswan juga mampu memberikan advokasi yang tepat bagi mereka. Ditambah perencanaan anggaran yang S.M.A.R.T. Sehingga proporsi anggaran keswan di tingkat SKPD nominalnya boleh dikata “sepantasnya dan selayaknya”. Berikut catatan saya...
Persoalannya mengakses anggaran keswan memang tak “semudah” layaknya mengakses anggaran untuk “perjalanan dinas” atau “pemeliharaan mobil dinas”. Yang sudah rutin dilaksanakan dengan proporsi anggaran yang selalu “up to date” sesuai perkembangan harga spare part kendaraan atau semacamnya. Karena persoalan pada SDM perencana barulah “sepotong jalan panjang” agar PHM & Keswan memperoleh dana pelaksanaan kegiatan yang “selayak dan sepantasnya”. Para perencana anggaran anggaran PHM kerap harus berhadapan dengan fakta bahwa besar kecilnya porsi anggaran kegiatan PHM disesuaikan dengan jumlah kasus penyakit dan penyebaran serta dampak yang mulai ditimbulkan. Konkritnya anggaran PHM bisa meningkat beratus-ratus kali lipat jika muncul wabah penyakit hewan, dan menyebar secara massive di sejumlah daerah dengan dampak yang mulai meresahkan masyarakat. Pengalokasian kegiatan model ini boleh saya sebuah sebagai anggaran “emergency”. Yah kegiatan PHM baru dilaksanakan secara massive dan intensif dengan proporsi anggaran yang “bombastis” ketika terjadi wabah. Jika tak ada, anggaran kegiatan PHM, berada pada lembaran kertas paling bawah dibahas dengan proporsi anggaran yang “alhamdulillah” juga paling ciut...!!!. Padahal saat wabah penyakit sudah menyeruak, kerugian akibat serangan penyakit mungkin sudah jauh lebih dahsyat daripada peningkatan dramatis anggaran pelaksanaan kegiatan PHM itu sendiri...!!!. Yang kerap terjadi pada tingkat SKPD, anggaran PHM baru akan menjadi prioritas ketika jumlah satu kasus penyakit meningkat secara luas biasa dengan mortalitas tinggi, apalagi disusul dengan laporan masyarakat yang intens, dengan penyebaran dan tingkat kerugian berada pada titik yang kronis. Pada saat semacam ini, berapapun anggaran keswan tak akan banyak “diasistensi” (baca : dicoret). Sayangnya semuanya sudah dilakukan dalam status emergency dengan kerugian sudah di depan mata...!!! Kalau boleh kita berandai (tak berharap jadi kenyataan) jika saja suatu saat wabah muncul di satu daerah. Siap-siaplah dinas yang menjadi leading sektor peternakan menjadi “Toko Obat Hewan”. Masyarakat pun berbondong mendatangi dinas. Meminta obat ini, obat itu, vaksin ini atau vaksin itu. Seolah-olah dinas menjadi toko obat dan vaksin yang siap 24 jam. Siap sedia dengan obat dan vaksin yang mereka minta. Belum lagi tuntutan akan mobilisasi petugas medik veteriner yang dituntut harus melayani lokasi serangan wabah dan isolasi daerah lainnya selama 24 jam. Saat itu, pastilah pengadaan obat dan vaksin akan dilakukan dengan dana yang “dramatis dan fantastis”. Pengadaan obat dan vaksin maupun tindakan PHM dilaksanakan sebagai sebuah kedaruratan. Jika mulai berdampak luas. Jatuh korban dan kerugian jutaan rupiah. Mind set berpikir lain yang juga perlu diadvokasi adalah “wani piro = berapa duit yang bisa masuk ke daerah jika anggaran PHM digelontorkan sekian ratus juta?”. Paham “dagang” seperti ini bagi para penggiat lapangan PHM dan Keswan selalu mengusik telinga mereka. Sebab bicara duit, dari pelayanan yang mereka lakukan, tak ada rupiah yang “cash and carry” mereka terima kemudian disetorkan ke daerah dari pelayanan mereka. Tapi sebenarnya marilah berhitung berapa yang bisa mereka selamatkan dengan melaksanakan vaksinasi, surveilance dan investigasi penyakit agar tak muncul apalagi sampai menyebar di tengah masyarakat atau di tengah populasi ternak? Jika itu terjadi bayangkan dampaknya pada bidang ekonomi, sosial, pariwisata, keamanan, pangan dan hubungan bilateral antar daerah atau negara? Celakanya cukup banyak yang menganut paham ini...!!!Dan ini yang harus terus diadvokasi!!! Pernah seorang rekan perencana dari Bappeda melempar wacana “Mungkin akan lebih baik jika ada regulasi yang mewajibkan dan mengharuskan pemerintah daerah mengalokasikan 1% APBD-nya untuk PHM & Keswan”. Entah, ucapan ini bentuk empati ataukah sebuah wacana yang layak untuk ditindak...!!Wallahu alam...!!!. Dengan alasan efisiensi, perencana anggaran juga kerap mendengar sindiran “Kalau, dengan 10 rupiah kalian bisa laksanakan, mengapa harus minta 20”?. Pertanyaannya pernahkah pertanyaan ini juga berlaku bagi anggaran anggaran pemeliharaan kendaraan dinas yang dari tahun ke tahun terus “ter up date” sesuai harga spare part kendaraan? Pointnya perencana anggaran keswan memang harus bertindak cerdas dengan menyiapkan data pendukung yang valid dan “ter up-date”. Alokasi anggaran PHM yang sehat, idealnya adalah alokasi anggaran kegiatan dengan mind set berpikir investasi. Artinya pemerintah melalui stake holder penentu kebajakan anggaran mengalokasikan dana penanggulangan penyakit “sepatut dan selayaknya sebuah kegiatan rutin” dengan mengasumsikan bahwa itu merupakan sebuah tindakan investatif untuk mencegah penyebaran penyakit dan munculnya wabah serta dampak serangan penyakit yang lebih luas. Pertimbangan alokasi dana tersebut mempertimbangkan populasi ternak, jumlah kasus penyakit terbanyak serta luas jangkauan pelayanan medik veteriner itu sendiri. Sehingga jumlah alokasi anggaran PHM idealnya selain menjamin ketersedian sarana dan prasarana utama seperti obat dan vaksin juga menjamin kinerja operasionalisasi para petugas medik ke lapangan. Fakta di lapangan menunjukan biaya operasional lapangan bagi para petugas lapangan adalah salah satu komponen biaya kegiatan PHM yang paling banyak sulit diakses oleh para penggiat keswan sendiri. Disusul honorarium petugas yang memadai. Ini terungkap dalam beberapa kali tatap muka dengan para penggiat PHM se Sulaweisi Selatan dalam pertemuan yang dispsonsori DAFF, dalam beberapa kali kesempatan. Padahal dari sudut pandang operasionalisasi pelaksanaan kegiatan, dua komponen pembiayaan inilah yang sangat mendukung pelaksanaan investigasi dan diagnosa penyakit ternak dan mendukung upaya pencegahan dan pengendalian penyakit. Sebab akan sangat memberikan motivasi para penggiat keswan dalam bekerja. Kalaupun dua komponen biaya ini disediakan, kerap kali jumlahnya tak cukup mampu menjamin kinerja para penggiat keswan & PHM itu selayak dan sepatutnya.(myscr-1)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Pembangunan Pertanian, Dijepit Kebutuhan, Diuji Tantangan”

“Geliat Palopo yang Makin Cantik dan Aduhai...”

Anggaran Berbasis Kinerja Ataukah Kinerja Berbasis Anggaran?