Menggaransikan Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan dan Penganggaran

Perencanaan dan penganggaran. Dua kata yang dalam birokrasi pemerintah, dulunya begitu keramat. Sampai-sampai hanya bisa diakses segelintir orang dalam birokrat. Di luar itu, jika ingin harus lewat “pintu belakang”. Namun seiring reformasi, “system keramat” itu pun luntur. Dan kini masyarakat pun kian cerdas. Tuntutan transparansi dan partisipasi dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan pun semakin menguat.
Memang sejatinya, sebuah pembangunan yang baik dan bener diawali dengan system perencanaan yang SMART, partisipatif dan transparan. Kemudian proses penganggarannya pun akuntabel dan terbuka. Kemudian system perencanaan dan penganggarannya mengikat satu sama lain antara semua stakeholder yang terlibat. Bahkan pula mengatur pusnishment and reward. Dan semua mekanisme tersebut jelas tersurat dalam sebuah perda. Ideal…!!! Jikalau semangat itu yang dikedepankan, keberadaan perda tentang perencanaan dan penganggaran tentu akan menjadi sebuah kebutuhan. Tak lagi sekedar sebuah keinginan. Keberadaan ini perda ini kemudian akan menjadi jauh lebih penting untuk menghapus stigma bahwa ketersediaan anggaran (penganggaran) dan prioritas peruntukannya (program/kegiatan) hanya domain stakeholder terkait, seperti SKPD atau DPRD. Sementara masyarakat sama sekali tak punya ruang mengaksesnya. Dari kacamata hukum mungkin saja perda ini secara tidak langsung akan meminimalisasi potensi penyimpangan anggaran. Dalam sebuah dikusi informal dengan beberapa rekan penggiat LSM, bagi masyarakat, perda itu menjadi kebutuhan. Sebab hakikatnya masyarakat membutuhkan sebuah kepastian peraturan daerah yang memberikan jaminan. Jaminan pertama, soal partisipasi dan peran nyata mereka dalam perencanaan. Jaminan dalam konteks ini adalah pemerintah menjamin bahwa kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan adalah program/kegiatan yang betul-betul adalah aspirasi masyarakat. Jaminan itu dibutuhkan sebab fungsi pengawasan sebenarnya sudah ada di legislatif. Namun akan lebih mengikat dan kuat, jika semuanya diatur dalam perda. Perda tersebut idealnya mengatur besarnya porsentase kegiatan atau posentase anggaran yang wajib (salah satu atau kedua-duanya), yang menjamin tercovernya kegiatan yang menjadi kebutuhan (bukan lagi hanya keinginan) yang diusulkan dalam musrenbang. Jaminan kedua, jika seandainya rancangan program/kegiatan pemerintah kemudian “melenceng” dari program/kegiatan yang diusulkan. Masyarakat juga mendapat jaminan atas sikap “persetujuan ataukah penolakan” mereka. Namun sikap “yes or no” masyarakat itu harus punya “legalitas”. Disinilah letak pentingnya keberadaan perda tersebut untuk memberikan ruang legal bagi masyarakat soal mekanisme “persetujuan atau penolakan mereka atas sebuah program/kegiatan” termasuk penganggaran. Mekanisme “persetujuan ataukah penolakan” masyarakat ini menjadi penting tersurat dalam perda, menyimak kasus yang secara materil erat kaitannya dengan pelaksanaan perda semacam ini di Kota Pare-Pare belum lama ini. Dimana pada tanggal 14 Maret 2012 lalu, sekelompok utusan masyarakat dalam musrenbang membakar Perda No.1 Tahun 2012 Tentang Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Masyarakat Kota Pare-Pare karena menilai eksekutif dan legislative tak konsisten menjalan perda tersebut di daerah itu. Mengantispasi aksi yang kurang “macho” seperti ini, idealnya perda juga mengatur mekanisme penolakan masyarakat terhadap program dan kegiatan per wilayah. Sehingga masyarakat mempunyai ruang yang legal tanpa perlu melakukan aksi semacam ini. “Singkatnya masyarakat bisa menginstitusionalkan sikap setuju atau tidaknya mereka atas sebuah program/kegiatan yang akan direncanakan oleh pemerintah,”. Demikian istilah salah satu penggiat LSM menyebutnya. Tantangan pada proses ini, pemerintah harus bersikap cerdas, memilah apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang hanya menjadi keinginan ataukah sebuah “K” lainnya. Tiga kata yang kerap “terpeleset” saat pengusulan program/kegiatan dari masyarakat. Sebab belum tentu semua yang diusulkan (want) masyarakat, dalam esensi pembangunan, itu jugalah yang menjadi kebutuhan (need). Persoalan lainnya adalah criteria dan penentuan program dan kegiatan mana yang menjadi skala prioritas sehingga proses penentuannya tidak berjalan subyektif. Dibutuhkan sebuah standar penetapan kegiatan prioritas dengan mengedepankan pendekatan partisipatif wilayah. Jangan sampai pembangunan kita kemudian terjebak pada pemborosan dan tak efektifnya proses pembangunan. Pembangunan dilakukan tanpa punya konsep yang jelas. Pada point ini kualitas sumber daya manusia perencana pada birokrasi, dan sikap teladan siddiq, fathonah, tablig dan amanah harus menjadi konsekwensi wajib selanjutnya stake holder yang terlibat. Tantangan berikutnya bagi pemerintah adalah proses pembelajaran dan pembangunan pemahaman di masyarakat bahwa, tak semua anggaran pembangunan bisa diikat oleh perda. Karena dalam system perencanaan pembangunan, masih ada yang namanya dana pembangunan dari pemerintah pusat dan bersumber dari APBN. Dalam teknisnya, kucuran dana semacam ini ke daerah sudah dipastikan akan disertai dengan dokumen teknis pelaksanaan juknis atau semacam petunjuk operasional kegiatan. Termasuk pembangunan mindset berpikir masyarakat tentang sinkronisasi program baik dari pusat, provinsi maupun daerah dengan apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Sebuah rentetan pekerjaan yang besar dan memang butuh semua sumberdaya…!!! Contohnya, masyarakat harus memahami bahwa sebagian besar gelontoran dana dari pusat selalu disertai juknis atau POK pusat. Persoalannya terkadang dokumen petunjuk pelaksanaan anggaran itu terkadang memaksa birokrat local untuk tak memenuhi apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Tentu saja pemerintah pusat sudah memiliki pertimbangan tertentu. Misalnya dengan pertimbangan untuk pembangunan dengan jangka waktu yang lebih jauh dan konsep pembangunan yang terintegrasi dengan sector lain. Sehingga pemahaman pada tingkat masyarakat juga harus disinergiskan dengan konsep dan pemahaman dalam birokrasi pemerintahan. Pemahaman mayarakat juga harus bisa menyentuh pada rencana strategis dan tata ruang yang satu sama lain terkait erat. Sebab bias saja apa yang diusulkan dalam musrenbang justru bertolak belakang dengan apa yang menjadi rencana strategis atau bahkan bertentangan dengan konsep tata ruang yang ada. Karena bagaimanapun sebagai sebuah proses, pembangunan adalah sebuah system yang berkonsep, punya tujuan baik pendek maupun panjang. Sehingga kendali arah pembangunan harus tetap berada di tangan pemerintah. Karena untuk alasan itulah pemerintah ada dan dibuat..!!! Kemudian dari sisi penganggaran, perda perencanaan dan penganggaran selayaknya juga harus memberikan jaminan ke masyarakat. Pertama soal bentuk atau postur anggaran pada APBD secara khusus pada tingkat SKPD pelaksana. Substansi perda ini paling tidak memberikan jaminan ke masyarakat soal komparasi persentase kegiatan ataukah anggaran (bisa salah satu atau kedua-duanya) soal konsep “pro poor”. Kontent perda ini idealnya mengatur secara jelas berapa persentase pembagian anggaran di dalam SKPD yang wajib, untuk terpenuhinya asas anggaran yang pro poor. Dimana salah satu model penganggaran yang banyak diperbincangkan dan dinilai relevan adalah anggaran berbasis wilayah. Yang dalam system perencanaan penganggaran kemudian melahirkan istilah “pagu indikatif wilayah”. Kemudian perda ini juga mengatur pusnishment and reward bagi SKPD pelaksana yang konsisten melaksanakan perencanaan program kegiatan dan anggarannya secara kosisten terhadap perda. Bahkan jika memungkinkan perda ini mengatur mekanisme apresiasi masyarakat terhadap SKPD yang anggarannya pro masyarakat. Pusnishment and reward ini, secara logis akan memberikan motifasi yang kuat bagi SKPD pelaksana dalam menjaga konsistensi terhadap jalannya perda itu sendiri. Meski fungsi pengawasan sudah ada di DPRD, perda ini tetap saja dibutuhkan untuk membangun ikatan yang lebih kuat antara eksekutif, legislative dan public. Kemudian menghindari kebijakan pembangunan atau kebijakan publik yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, apalagi sampai menimbulkan penolakan dan sikap apatis terhadap pembangunan di masyarakat. Penjaminan partisipasi dan transparansi perencanaan dan penganggaran pemerintah jauh sebelumnya sudah diatur. Misalnya dalam UU No. 25 Tahun 2004 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Namun dalam konteks otonomi daerah, sebuah perda perencanaan dan penganggaran tetap saja sangat dibutuhkan masyarakat. Seiring suburnya inisiatif masyarakat untuk ingin tahu dan bahkan ingin berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, perencanaan, penganggaran dan pelayanan publik secara detil. Konsekwensi logisnya, dokumen publik –seperti peraturan daerah, dokumen perencanaan, anggaran, sumber daya alam dan aset daerah jangan sampai hanya bisa diakses dengan cara-cara ‘pintu belakang’. Karena cara-cara seperti ini hanya berakibat pada munculnya asimetri mainstream informasi antara masyarakat, dengan pejabat atau mereka yang memiliki akses terhadap sumber-sumber data tersebut. Jangan sampai informasi yang diberikan pemerintah maupun pemda kepada masyarakat lebih dipandang sebagai “kebaikan” bukan sebagai “kewajiban” pemerintah kepada masyarakat. Semoga…!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Pembangunan Pertanian, Dijepit Kebutuhan, Diuji Tantangan”

“Geliat Palopo yang Makin Cantik dan Aduhai...”

Anggaran Berbasis Kinerja Ataukah Kinerja Berbasis Anggaran?