Dibayangi Ancaman Pemotongan yang Terus Meroket

Penyelamatan Betina Produktif
Sapi Potong - Penyelamatan Sapi Betina Produktif dalam realisasi di Lapangan Kerap Dilematis dan Masih Terasa Sulit Dilakukan.

Populasi Sapi Potong di Kota Palopo hingga September 2011 jumlahnya diperkirakan mencapai 1962 ekor. Ternak potong tersebut tersebar di empat puluh dua kelurahan yang ada. Populasi ini meningkat jika dibandingkan populasi tahun sebelumnya yang hanya mencapai 1500-an ekor. Jika hanya menyimak pada angka populasi, kondisi ini tentu menggembirakan. Namun disisi lain meski populasinya meningkat, perkembangan ini juga dibayangi ancaman pemotongan ternak yang datanya menunjukan peningkatan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu. Baik pemotongan yang dilakukan di Rumah Potong Hewan maupun pemotongan secara perorangan.
Terjadinya peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan tentu akan merubah pola konsumsi masyarakat ke arah meningkatnya konsumsi pangan hewani terutama daging sapi. Kondisi ini juga terjadi di Kota Palopo. Belum lagi berbagai masalah yang menghambat pencapaian populasi, produksi, produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi. Misalnya rendahnya tingkat kebuntingan/kelahiran yang menghambat perkembangan populasi ternak.
Dinas Pertanian Dan Peternakan Kota Palopo memahami dan menyadari sepenuhnya kondisi tersebut. Sesuai analisa data di Dinas Pertanian Dan Peternakan Kota Palopo selama tiga tahun berturut-turut sejak 2007-2011, persentase pemotongan betina produktif adalah ancaman serius perkembangan populasi ternak sapi di Kota Palopo tahun-tahun ke depan.
Buktinya, persentase pemotongan ternak betina di empat rumah potong hewan di Kota Palopo dari tahun ke tahun terus meningkat. Sesuai data olahan Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Palopo, kurun waktu 2007-2009, ternak betina yang dipotong mencapai 25 persen. Kurun waktu selanjutnya (2010) persentasenya meningkat menjadi 31, 92 persen. Dan periode tahun ini, meski baru pertengahan tahun, persentasenya telah melebihi setengah dari persentase pemotongan betina periode sebelumnya yakni 27,23 persen. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat sampai akhir tahun 2011 ini. 

Kondisi yang lebih menggiriskan dialami ternak potong besar lainnya yakni kerbau. Persentasenya meningkat tajam dari tahun ke tahun. Kurun waktu 2007-2009, persentase kerbau betina yang dipotong sebanyak 36,2 persen, periode 2010 jumlahnya meningkat sebanyak 37, 82 persen. Jumlah ini meningkat jauh lebih tajam, sebab hingga September 2011, persentase ternak kerbau betina yang dipotong telah mencapai 60,37 persen.
Berdasarkan hasil wawancara informal penulis dengan sejumlah peternak, rata-rata mereka menjual ternak betina produktifnya pada saat membutuhkan uang membiayai anaknya bersekolah. Transaksi penjualan ternak tertinggi berlangsung pada saat penerimaan siswa/mahasiswa baru di tahun ajaran yang baru. Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Palopo menyadari kondisi tersebut namun sampai saat ini upaya penanganannya masih terbilang minim. Di satu sisi peternak membutuhkan biaya sekolahnya anaknya dalam bentuk uang cash sementara dinas belum mampu menyediakan ternak substitusi di RPH dalam jumlah memadai yang bisa dipakai menukar ternak yang akan dipotong.
Stake holder lain dalam kasus ini yang terkait erat dengan pemotongan betina produktif adalah para penjagal. Mereka mengaku sebagai pengusaha mereka tentu menginginkan keuntungan jangka pendek sebesar-besarnya. Di samping itu jagal juga mempunyai banyak pertimbangan mengapa melakukan pemotongan sapi betina produktif, meskipun terkadang itu mereka lakukan karena terpaksa. Pertimbangan pertama yaitu: (i) sulitnya mencari sapi kecil untuk dipotong, (ii) harga sapi betina relative sedikit lebih murah dibanding sapi jantan dengan ukuran yang sama, (iii) peternak akan menjual apa saja termasuk sapi betina produktif bila memerlukan uang cash.
            Alasan utama dari penjagal adalah mencari keuntungan. Artinya, bila pemotongan sapi betina tidak memberi keuntungan finansial secara nyata, jagal secara sukarela tidak akan pernah memotongnya. Oleh karena itu, semua upaya dan kebijakan untuk menyelamatkan sapi betina produktif dari pisau jagal adalah menciptakan kondisi dimana harga sapi betina produktif menjadi sama atau sedikit lebih mahal dibandingkan sapi jantan. Sebab normalnya persentase karkas dan kualitas daging sapi betina biasanya lebih rendah dibanding sapi jantan. Namun karena harganya lebih murah, jagal tetap memperoleh keuntungan yang layak. Hal lain yang kadang ikut memperkeruh kondisi ini adalah sikap inkonsistensi dalam penegakkan peraturan termasuk kebijakan untuk meningkatkan PAD dari setiap RPH.
Sebenarnya upaya pengendalian pemotongan ternak betina produktif telah dimulai sejak zaman Belanda. Hal ini dapat dilihat dari adanya peraturan perundang­-undangan pelarangan pemotongan ternak betina produktif yang tertuang dalam Staatblad No. 614 Pasal 2 Tahun 1936. Kemudian dipertegas dengan Instruksi Bersama antar Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 18 Tahun 1979  tentang Pencegahan dan Larangan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina  Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina Bibit. Di samping itu dalam Staatblad tahun 1936  dijelaskan juga bahwa dilarang menyembelih atau menyuruh menyembelih ternak besar bertanduk (sapi dan kerbau) yang betina.
Artinya bahwa yang memotong dan yang menyuruh sama­-sama dapat sangsi hukum. Alasan dan tujuan larangan tersebut yaitu untuk mencegah penurunan perkembangan ternak sapi/kerbau tersebut, menjamin kelestarian dan meningkatkan produksi serta mencegah menurunnya jumlah populasi ternak sapi/kerbau. Semakin terkurasnya stok ternak sapi di Kota Palopo tentu bertolak belakang dengan upaya pencapaian sejuta ekor sapi di Sul-Sel pada 2014 mendatang.
 Konsep dan rencana operasional utama kondisi meski disadari adalah dengan melakukan penyelamatan pemotongan ternak sapi betina produktif di Rumah Potong Hewan (RPH), belum bisa dilakukan secara memadai di Kota Palopo. Itu akibat terbatasnya dana pembanunan daerah. Meskipun Dinas Pertanian Dan Peternakan Kota Palopo menyadari jika tersedia ternak substitusi, aksi penjaringan ternak sapi betina produktif tersebut akan lebih dikonsentrasikan pada daerah-daerah yang tingkat pemotongan ternaknya tinggi, populasi ternak tinggi. Ternak hasil penjaringan itu kemudian kembali disebarkan ke masyarakat (kelompok peternak) untuk dibudidayakan sehingga diharapkan dapat meningkatkan jumlah kelahiran.
 Penguatan modal usaha sebagai salah satu upaya penyelamatan betina produktif sejatinya menjadi stimulan bagi para peternak, yang tergabung dalam kelompok peternak pembibit untuk meningkatkan kapasitas usahanya menuju skala usaha yang ekonomis dalam pengembangan usaha budidaya ternak sapi potong. Upaya lain dalam penyelamatan pemotongan sapi betina produktif yaitu dengan bimbingan/sosialisasi kepada kelompok-kelompok peternak tentang penyadaran akan pentingnya sapi-sapi betina yang masih produktif dalam usaha peternakannya jauh sebelumnya juga dilakukan dinas pertanian dan peternakan Kota Palopo. Dan baru langkah inilah yang telah banyak dilakukan di Kota Palopo.

Perlu Kebijakan
Sehingga menurut hemat penulis kebijakan penyelamatan sapi betina produktif harus dimulai dari hulunya, yaitu pada tingkat peternak. Pada saat memerlukan uang cash, peternak akan menjual apa saja yang dimilikinya, termasuk sapi. Oleh karena itu pengembangan ternak lain seperti domba, kambing, babi atau unggas sangatlah perlu untuk cadangan bila peternak memerlukan uang cash dalam jumlah yang kecil. Selain itu, pengembangan koperasi simpan pinjam atau lembaga keuangan mikro di tingkat pedesaan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan uang cash dalam jumlah yang cukup besar, sekaligus untuk mencegah penjualan sapi betina produktif.
Idealnya penetapan retribusi untuk pemotongan ternak di setiap RPH dapat dimanfaatkan sebagai instrumen dalam pengendalian pemotongan sapi betina produktif. Kemudian pemotongan sapi betina produktif dapat dihambat bila kesadaran seluruh pemangku kepentingan mulai dari peternak, pedagang, jagal, konsumen sampai pada petugas dapat ditingkatkan. Sebab instrumen berupa undang-undang sudah ada, namun ternyata sampai saat ini masih sulit diimplementasikan. Oleh karena itu perlu ada upaya tambahan yaitu dengan melakukan pendekatan secara etika, budaya dan agama.
Sosialisasi tentang hal ini mungkin dapat dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, ilmuwan dan politisi melalui pendekatan sosial budaya, bukan hanya melalui pendekatan teknis, ekonomi dan hukum. Untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif dengan demikian harus dilakukan dengan berbagai pendekatan baik yang bersifat teknis ekonomis maupun sosial budaya. Kebijakan yang sudah ada harus diimplementasikan dengan baik, dan untuk setiap wilayah perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi yang ada. Untuk wilayah gudang ternak diperlukan kebijakan untuk mengeluarkan sapi betina produktif secara terkendali (terbatas), sementara untuk wilayah kosong ternak harus ada kebijakan untuk pengadaan sapi lokal untuk dikembangbiakkan yang berasal dari wilayah padat ternak. Untuk merealisir kebijakan ini diperlukan dukungan dana dan kelembagaan yang memadai, serta dibarengi dengan pengawalan dan pengawasan yang ketat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Pembangunan Pertanian, Dijepit Kebutuhan, Diuji Tantangan”

“Geliat Palopo yang Makin Cantik dan Aduhai...”

Anggaran Berbasis Kinerja Ataukah Kinerja Berbasis Anggaran?