Selamatkan Sebutir Nasi, Wujudkan Ketahanan Pangan Kita

”Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar saudaraku”. Berikut catatanku. Bagaimana mewujudkan Ketahanan Pangan di Kota kita ini. Sebuah langkah sederhana yang bisa dimulai dari diri kita sendiri, keluarga, lingkungan dan daerah kita...
Sederhana, ketahanan pangan saya maknai sebagai kondisi di mana saudaraku di kota ini sepanjang waktu memiliki akses, baik secara fisik maupun ekonomis, terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi. Makanya bagi saya konsep ketahanan pangan berada pada tingkat rumah tangga. Oleh karena ia berada pada lapisan paling bawah, kita semua pun bisa mengambil peran. Sebagai konsumen atau sebagai produsen. Tergantung dimana peran yang kita ambil dan lakoni. Sebagai mereka yang awam disebut petani sebagai “beliau”, membangun ketahanan pangan bisa mereka mulai dengan menetapkan instrumen kebijakan. Menentukan batasan “haram dan wajibnya” sebuah tindakan membangun ketahanan pangan. Dan menegakkan semua “syariat” itu secara konsisten. Termasuk menjamin pemenuhan atas semua konten instrumen kebijakan yang dibuat. Sekalipun ke depan, lambat laun akan banyak berbenturan dengan kepentingan daerah untuk maju dan berkembang dengan prioritas sektor lain. Di point ini, para “beliau” mesti memahami, membangun daerah untuk maju tapi dengan meninggalkan atau melanggar “syariat” ketahanan pangan sama saja menyodorkan ancaman kelaparan pada anak cucu kita, disaat semua daerah saat ini berlomba-lomba mewujudkan ketahanan pangannya secara mandiri dan tersistem. Syariat “haram dan wajib” bagi ketahanan pangan tadi tak bisa disusun hanya dibuat dari balik meja. Atau dari satu buku ke buku lainnya. Beda lokasi, beda karakter, berbeda cultur. Itulah pentingnya memberikan peran dan kesempatan bagi para pelaku langsung penyediaan pangan memberikan kontribusi besar bagi penyusunan nilai-nilai “syariat” ketahanan pangan. Point saya, penyusunan instrumen kebijakan harus didasari pada nilai-nilai empati, kepedulian kepada petani serta pemahaman tentang arti penting dan strategisnya aspek ketahanan pangan ke depannya. Menetapkan pula kebijakan-kebijakan yang menjadi “sunnah” bagi pencapaian Ketahanan pangan. Namun disesuaikan dengan cultur masyarakat kita. Dengan upaya sosialisasi yang intensif dan terus menerus, sehingga mampu menggerakan masyarakat untuk melaksanakannya. Dalam konten ini, yang saya maksudkan misalnya mengurangi konsumsi beras dengan beralih ke sagu dan ubi, atau pangan berkarbohidrat tinggi lainnya, dengan melakukan diversifikasi dan intensifikasi pengolahan pangan. Peran sebagai produsen/petani, membangun ketahanan pangan bisa kita lanjutkan dengan niat dan motifasi yang sungguh-sungguh, bahwa peran menyediakan pangan bagi masyarakat tak sekedar berharap aliran rupiah bagi peningkatan kesejahteraan. Meski ini adalah yang utama bagi eksistnsi kelanjutan usaha pertanian. Sebab dibalik itu, ada esensi “kemulian peran seorang petani” dimana ia mampu memenuhi seluruh “piring makan” saudaranya dengan pangan berkualitas dan cukup. Namun ini bisa tercapai jika para pelaku penyedia pangan secara langsung, telah merasa “dihargai” baik secara “materil” maupun “moral” dengan peran yang ia mainkan. Secara materil yang saya maksudkan ketika semua hasil pertanian mereka “mampu dihargai pasar dengan harga rasional dan logis” dan secara “moral” ketika para penyedia pangan itu dijamin eksistensi dan aksesnya pada ketersediaan faktor faktor produksi dengan insentif yang memandirikan mereka. Bukan insentif yang hanya menyisakan “kemanjaan” pada bantuan dan subsidi pemerintah. Dengan begitu, saya “haqqul yaqiin” petani/peternak termasuk nelayan, akan merasa bertanggung jawab besar pada penyediaan semua yang selalu ada di meja makan kita. Sebagai konsumen, membangun ketahanan pangan saya maknai sebagai langkah dan upaya kita mengurangi konsumsi beras dan beralih pada sumber pemenuhan karbohidrat lainnya. Dengan kata lain sedikit menggeser protap “livefood” kita dimana nasi selalu menjadi sajian dominan pangan kita setiap hari. Ini diselaraskan dengan upaya intensif melakukan penganekaragaman pangan non beras. Satu prinsip sederhana sebagai konsumen untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam skala keluarga adalah “lebih baik menambah satu bahkan sampai tujuh kali (jika perut mampu) daripada menyisakan sebutir apalagi seonggok pangan untuk kita masukkan ke tempat sampah”. Jika dalam sebuah keluarga memegang dan melaksanakan prinsip ini, kemudian satu lingkungan kemudian satu daerah, kemudian satu provinsi, bayangkan jumlah butir beras yang berhasil kita selamatkan dari tong sampah. Menjadi penting untuk menyadari bahwa dalam sebutir beras yang sudah siap saji di piring makan, ada sekian tetes keringat para petani kita yang terkucur, tersengat matahari bermandi peluh untuk mengantarkannya sampai ke meja makan kita. Belum lagi curahan rupiah yang mereka keluarkan atau kita keluarkan. Bayangkan jika kita semua mampu melakukannya. Mulai dari rumah kta sendiri, lingkungan kerja? Terakhir pembangunan intensitas advokasi dan peran publik untuk peduli dan berempati pada pencapaian ketahanan pangan kita di Palopo. Banyak cara,banyak jalan bisa ditempuh. Asal kita punya sedikit empati, sedikit bicara namun banyak berbuat untuk mewujudkannya. Semoga...!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Pembangunan Pertanian, Dijepit Kebutuhan, Diuji Tantangan”

“Geliat Palopo yang Makin Cantik dan Aduhai...”

Anggaran Berbasis Kinerja Ataukah Kinerja Berbasis Anggaran?